dalam perbaikan
Budaya pasung kembali dilakukan keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit kelainan. Hal ini dialami Dicky Wahyudi, 10, warga Dusun IV Desa Sukadamai, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan , kemarin. Putra semata wayang pasangan Sugeng Purnomo , 41, dan Pingatin ,40, ini terpaksa harus dipasung karena penyakit autis yang diderita Wahyu—sapaan akrab Dicky Wahyudi –tersebut tak kunjung sembuh sampai saat ini.
Karena Kelainan, Autis Anak semata wayang yang baru usia 10 tahun harus dipasung di kandang kambing (foto ilustrasi)
Tubuh Wahyu lahir cukup normal. Tidak ada catat apapun di bagian tubuhnya sejak lahir . Namun pasca mengidap penyakit autis sejak tahun 2003 silam, bocah berkulit putih dengan berat badan 30 kg ini kerap menggigit kedua tangannya apabila tidak dipasung. Akibatnya, bagian wajah atau tepatnya di sekitar bibir Wahyu tampak bekas luka memar. Menurut Pingatin, putranya itu memang senang menggigit kedua tangannya secara bergantian. “Karena sering digigitin, tangan Wahyu terluka sampai mengeluarkan nanah. Kalau pipi yang berada di dekat bibirnya itu terluka karena bekas air liur dari tangan,” ujar ibu kandung Wahyu ini.
Wahyu, harus menjalani hari-hari dalam kandang kambing , Apakah tidak ada solusi bijak untuk permasalahan seperti ini selain memasung anak dengan tidak manusiawi seperti ini?
Ketika Sugeng dan Pingatin sedang ke sawah, Wahyu selalu ditemani sang adik, Maharani ,6,. Rani—sapaan akrab anak bungsu Sugeng-Pingatin ini selalu setia menyuapi kakaknya yang sedang dipasung di kandang kambing. Meski sudah habis menjual ladang dan sepeda motor, Wahyu belum pulih dari penyakit autis yang dideritanya sejak tahun 2003 silam. Bahkan, berbagai pengobatan modern maupun tradisional sudah ditempuh tapi tak ada hasil apa pun.
Sugeng Purnomo, ayah kandung Wahyu, menuturkan penyakit kelainan yang diderita buah hatinya tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia menyatakan proses kehamilan sampai melahirkan tidak pernah ada permasalahan. “Dia (Wahyu, Red) hidup normal sampai usia 3 tahun. Tepat pada tahun 2003 itu, dia jatuh pingsan selama 15 menit setelah main di depan rumah bersama teman-temannya,” katanya kepada harian ini, kemarin. Dari sana, Sugeng mulai merasakan sesuatu keanehan terjadi pada pribadi Wahyu. Bapak beranak empat ini melihat putra tunggalnya itu bersikap terlalu aktif alias hiperaktif.
“Saking aktifnya, dia sering lari-lari ke hutan belantara yang berada di belakang rumah kami. Selain itu, dia suka bermain di sungai dan kubangan yang berisi air kotor. Ini sungguh aneh bagi kami,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. Karena tak mampu mengurusi Wahyu. Sugeng bersama istrinya memutuskan memasung bocah kelahiran 8 Agustus 2000 itu di dalam kandang kambing yang berada di belakang rumahnya. “Dia mulai dimasukkan ke dalam kandang kambing sejak tahun 2005 lalu. Apa yang kami lakukan ini bukan disengaja, tapi untuk menjaga agar anak kami tidak berlari-lari dan bermain di sungai,” tukasnya.
Pemberlakukan pasung bagi Wahyu ini karena Sugeng dan Pingatin tak bisa membawanya ke sawah. Kedua pasangan yang dikarunia empat anak ini hanya sebagai buruh tani. Penghasilan minimal Sugeng sekitar Rp250 ribu/bulan, sedangkan Pingatin tak dapat ditentukan.
“Kalau kami sedang ada kerjaan menggarap sawah, maka Wahyu tidak ada yang menjaga. Kadang-kadang, istri saya suruh di rumah untuk menjaga. Tapi, ketika istri lengah, dia langsung lari secepat mungkin menuju hutan dan sungai,” kelakar pria kelahiran Jember ini. Mirisnya, apa yang dialami keluarga Sugeng ini tidak digubris pamong setempat. Kepala Desa Sukadamai Muhwanto seolah tutup mata terhadap kondisi warganya. Hal serupa juga ditunjukkan aparatur kecamatan dan Pemkab Lamsel.
Sampai kemarin, tidak ada satupun pihak pemkab maupun kecamatan yang paling tidak mengecek kesehatan Wahyu.
“Sampai saat ini, pemerintahan mulai dari kepala desa, camat, hingga bupati maupun stafnya belum ada yang peduli terhadap kondisi anak kami. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena semuanya sudah ditempuh baik pengobatan modern maupun alternatif. Bahkan, kami telah membawa Wahyu ke Jember dan mengundang seorang Kiyai dari Blitar,” terangnya.
Karenanya, tambah Sugeng, pihaknya cukup berterima kasih apabila memang ada yang peduli terhadap penyakit yang diderita Wahyu. Ia mengharapkan pemerintah provinsi (pemprov) Lampung bisa mendengarkan keluhan dan penderitaan putra semata wayangnya.
“Sampai saat ini, kami terus berdoa dan tahajud agar mukjizat bisa terjadi untuk anak kami. Bahkan, kami sudah menjalani puasa Senin-Kamis secara rutin,” bebernya. Dihubungi terpisah, Kadiskes Lampung dr.Wiwiek Ekameini menyesalkan keterlambatan informasi yang didapatkan Diskes Lamsel sebagai penguasa wilayah. Meski begitu, ia berjanji akan mengambil alih penanganan Wahyu agar dapat sembuh dari penyakit autis. “Petugas sudah saya minta turun ke lokasi. Setelah itu, korban akan dibawa ke RSJ untuk dicek kejiwaannya dan RSUDAM guna menjalani terapi autis,” katanya, kemarin. Wiwiek juga berjanji akan menggratiskan pengobatan Wahyu sampai sembuh total. Ia menyatakan penggratisan ini sesuai dengan program Jamkesmas maupun Jamkesmasda.
“Seharusnya, pemasungan terhadap anak yang mengidap penyakit autis ini tidak boleh lagi. Orang tua semestinya bisa berkonsultasi lebih dahulu dengan pamong atau diskes setempat,” sesal mantan direktur Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) ini.
GABUNG Halaman Facebook saya,dengan mengklik dibawah ini
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment kamu Dibawah ini,Blog ini DO Follow