Jangan membayangkan para pelaku swinger yang memasuki usia kepala tiga. Kini mereka lebih muda, lebih liar dan lebih menggoda!
Pesan singkat masuk ke dalam ponsel seorang kawan saat kami sedang bersantai di lobby sebuah hotel bintang lima di daerah Jakarta Selatan. Isinya singkat, “Ada anak baru mau ikutan party. Besok di Anyer.” Teman saya tersenyum sambil menyerahkan handphonenya kepada saya. Saat membaca pesan itu saya tidak begitu mengerti apa maksudnya.
Seminggu berselang, dalam account FB saya ada sebuah pesan dari kawan saya tersebut. Dia bercerita panjang lebar soal “party” yang dimaksud dalam SMS tempo hari yang ditunjukkannya pada saya. “Pesta terliar dalam yang pernah saya alami,” ujar teman saya mengawali obrolannya. Dalam sebuah cottage di Anyer, dia bersama pasangan melakukan swinger dengan pasangan lain yang usianya masih pantas disebut sebagai mahasiswa.
Pesta swinger itu rencananya dihadiri tiga pasangan yang masing-masing akan menukar pasangannya untuk kemudian berhubungan seks dengan pasangan lainnya. Uniknya, salah satu pasangan ini usianya masih cukup muda. “Mereka salah satu mahasiswa di perguruan tinggi swasta di Surabaya. Kebetulan lagi liburan ke Jakarta dan sekalian aja kita party,” ujar teman saya terkekeh.
Jika teman saya dan pasangannya sudah berusia diatas kepala tiga, maka berbeda dengan pasangan lainnya dalam pesta swinger itu. “Mereka masih kuliah, dan mereka bilang punya beberapa teman yang juga senang swinger. Kapan-kapan mau diajak main ke Jakarta biar bisa ikutan,” ujar teman saya lagi. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya.
Swinger mungkin kata yang terdengar aneh di kepala saya. Namun keanehan itu segera terbayar ketika seorang teman berhasil memberikan nomor kontak salah seorang penggila swinger. Ia segera menelponnya dan menyerahkan hapenya ke saya untuk selanjutnya ngobrol beberapa menit tentang swinger. “Mungkin tiga sampai empat tahun yang lalu, swinger memang identik dengan pertukaran pasangan seksual antara pria dan wanita yang sudah menikah. Bahkan ada klub swinger di Jakarta yang mengharuskan anggotanya menikah sebelum mengajaknya berpesta. Tapi sekarang, banyak ABG juga kok yang swinger. Saya kenal baik dengan beberapa dari mereka. Dan ingat, mereka bukan PSK (pekerja seks komersial –Red) tapi memang suka dengan sensasi dalam swinger,” ujar si nara sumber dari seberang telepon.
Menurutnya, swinger memang berbeda dengan hubungan seks pada umumnya. “Swinger melibatkan rasa kepercayaan dan fantasi tersendiri saat kita ikut di dalamnya. Kita saling percaya satu sama lain sehingga hubungan seks itu tidak melulu soal nafsu. Ada sensasi dan perasaan yang berbeda saat melakukannya,” ujar pria yang enggan menyebutkan nama aslinya itu.
Sebuah klub malam di Jakarta Barat, kerap dijadikan tempat berkumpul para pasangan penikmat swinger. “Kita sering bertemu di sana. Untuk swinger sendiri tidak bisa dipastikan kapan rutinnya digelar. Biasanya sih kalau sudah sama-sama cocok maka kita bisa lanjut untuk cari room. Pasangan-pasangan muda biasanya lebih hot. Mereka sangat open minded dan terkesan liar,” ujar nara sumber tadi.
Di kalangan para pelakunya, fenomena swinger tampaknya mulai merambah usia yang lebih muda. Jika dulu para swinger identik dengan pasangan yang sudah memasuki usia matang, kini tampaknya trend itu bergeser. Rentang usia pertengahan kepala dua menjadi usia yang banyak dijumpai di pasangan swinger. “Memang banyak peminatnya sekarang masih muda-muda. Kalau saya tidak mempermasalahkan usia. Selama kita saling cocok dan suka, ya lakukan saja,” ujar nara sumber tadi mengakhiri obrolan.
Bicara sejarah, swinger memang bukan fenomena baru. Sejak berabad lalu berbagai literatur telah menggambarkan perilaku saling bertukar pasangan seksual ini. Bahkan kini di Eropa, sedikitnya tercatat seribuan klub swinger yang aktif melakukan aktivitasnya. Untuk Eropa, swinger memang lebih menekankan pada pasangan-pasangan yang menikah dan mencari sensasi baru dalam hubungan fisik. Mereka menginjak usia rata-rata 31 tahun untuk wanita dan 34 tahun untuk pria. Bahkan para pelaku swinger di sana mengaku “ritual” ini berbeda dengan olah seks biasa. Mereka menganggap swinger lebih privat dan dilakukan secara khusus dengan pasangan resminya.
Di benua Afrika proses saling bertukar pasangan juga tercatat eksis. Sementara di Australia, suku Warramunga punya ritual sejenis dengan saling berhubungan seksual dengan istri sesamanya. Kemudian benua Amerika bagian Selatan yaitu Brasil dan Venezuela juga punya hal serupa dalam praktek kehidupan suku-suku pedalamannya.
Di Indonesia fenomena swinger ini kembali hangat saat mencuatnya kasus aliran sekte Satria Piningit Waten Buwono awal tahun 2009 lalu. Sekte ini dipercaya melakukan swinger sesama anggotanya sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan tuhannya. Uniknya, masyarakat di pedalaman Papua punya kebiasaan mirip dengan swinger. Yaitu prosesi seorang pria tidur bergantian dengan istri saudara sekandungnya. Sang istri tersebut melakukannya dengan sukarela sebagai bakti terhadap suku dan agama primitif yang dianutnya.
Nah seiring perkembangan teknologi, kebebasan yang menjadi kebabablasan pun menyasar generasi muda, khususnya di kota besar. Perilaku-perilaku primitiF yang dulunya menjadi bagian hidup suku-suku dan masyarakat pedalaman seakan-akan muncul ke permukaan dan digandrungi kaum urban. “Gemerlap dunia hedonis memang rentan menggerogoti mental dan adab anak-anak muda. Terutama yang hidup di kota besar, mereka lebih cepat menerima teknologi dan informasi meski kadang filter kepribadian mereka belum siap,” ujar Sigit JT, seorang pemerhati gaya hidup kaum urban.
Ia menambahkan, “Bicara swinger, sulit mengatakan kalau ini sudah menjadi sebuah gaya hidup sebelum ada penelitian yang valid akan hal itu. Kalau sudah ada bukti misalnya 50 persen anak muda gemar dan aktif di dalamnya, baru ini mengkhawatirkan. Lebih tepatnya kita bisa bilang sebagai fenomena urban, karena memang terjadi dan menimpa masyarakat perkotaan. kemungkinan mereka adalah para pencari sensasi sesaat yang terlibat dalam hubungan fisik jangka pendek. Melihat kecenderungan ini maka bisa saja anak-anak usia muda menjadi pelaku di dalamnya,” tambah pria yang juga mengajar lepas di sebuah kampus di Jakarta Barat ini.
Lalu apa sebenarnya swinger itu? Secara definitf memang kurang lebih artinya adalah melakukan hubungan seks antara pria dan wanita secara bersamaan dengan beberapa pasangan dan kemudian saling menukar pasangan atau partner seksnya dalam grup itu. “Swinger cenderung dilakukan oleh pasangan suami istri atau pasangan kekasih yang ingin merasakan sensasi berbeda dari sebuah perilaku seksual. Swinger tidak dilakukan dengan orang yang sekedar kenal atau baru kenal tetapi dilakukan pasangan yang sudah solid. Kalau yang cuma coba-coba saja dan tidak solid malah akan menimbulkan masalah. Semisal mencurigai pasangan menyertakan perasaan. Padahal swinger hanya mencari hiburan dan mendapatkan sensasi dari sebuah kegiatan seksual,” ujar psikolog Ismed Surachmad.
Meski tidak membatasi usia, umumnya para pelaku swinger party lebih diminati oleh kalangan eksekutif muda. Meski hal itu tidak bisa dipukul rata tetapi para pemainnya biasanya adalah kalangan dengan strata ekonomi mapan. Tujuan yang hendak diraih jelas adalah sebuah petualangan seks yang penuh fantasi dan sensasi. Itu alasan mereka yang konon sempat merasakan nikmatnya pesta ini.
Coba Anda membuka internet dan gunakan mesin pencari dengan kata kunci swinger. Dalam hitungan detik maka akan keluar berbagai link dan situs internet terkait dengan swinger. Jika Anda lebih spesifik lagi menggunakan kata kunci swinger Indonesia, maka tidak sedikit juga link atau grup yang membahas atau mempromosikan berbagai klub yang berkaitan dengan hal tersebut.
Lebih jauh menurut Ismed, batas batas moral yang semakin buram dan ditambah kompleksitasnya kehidupan masyarakat urban menjadi ladang yang subur bagi praktek-praktek hedonis seperti swinger. “Namun itu bukan menjadi pembenaran untuk bebas melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Akibat terburuk, nanti akan menjadi orang-orang yang hanya melihat kegiatan seksual swinger ini sebagai salah satu cara melakukan variasi seksual, dan akibat terburuk bisa saja terkena penyakit AIDS dan penyakit menular seksual lainnya. Ini kan miris dan akhirnya sama saja dengan kebebasan seksual,” ujarnya.
Di satu sisi, swinger jelas menggambarkan melorotnya moral dan batas-batas norma dalam kehidupan masyarakat. Sementara di sisi lainnya swinger juga menjadi sebuah trend urban yang dilakoni oleh sebagian kecil masyarakat perkotaan. Meski masyarakat semakin acuh dan hidup egosentris namun bukan berarti perilaku yang bebas seperti swinger dapat dibenarkan. “Ada baiknya kita kembali ingat nilai-nilai ketimuran. Hidup di Timur tidak bisa disamakan dengan di Barat. Perilaku hedonis memang cenderung merugikan dan kerap membawa pada degradasi moral generasi pelakunya. Jangan sampai kita kehilangan generasi akibat tergerus zaman yang semakin plural ini,” tambah Sigit lagi.
Kini tentunya semua kembali kepada kita. Mengagungkan ego dan kepuasan sesaat atau kembali pada nilai-nilai “usang” yang kolot terdengar di telinga. Semua terserah kepada kita, dengan konsekuensi yang masing-masing tahu muaranya